doa pengikat hati

Yaa Alloh, sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati-hati ini telah berkumpul dalam cinta hanya kepada-Mu, bertemu dalam ketaatan kepada-Mu bersatu dalam dakwah-Mu, berjanji setia untuk membela syari'at-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertalian ini, abadikanlah kasih sayang ini, tunjukkanlah jalan kami, dan penuhilah dengan cahya-Mu yang tak pernah padam, lapangkanlah dada ini dengan limpahan iman dan keindahan tawakal kepada-Mu, hidupkanlah dengan ma'rifat-Mu, dan matikanlah dalam syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amien.....

Kamis, 16 September 2010

Sejenak Berbincang Tentang Peran-Peran Kita

"Yang terpenting bukanlah siapa kita, namun bagaimana kita bagi ummat ini, bagi bangsa ini..."-KH. Ahmad Dahlan (Sang Pencerah)-

***

Setiap manusia mempunyai perannya masing-masing dalam menjalani fase kehidupan di dunia ini, dimana antara satu individu dengan individu lainnya bisa jadi pada suatu masa mempunyai peran yang sama, namun di lain waktu bisa jadi mempunyai peran yang berbeda. Dengan berjalannya sang waktu peran masing-masing individu akan terus bertambah, dari awalnya hanya memiliki peran sebagai seorang anak lalu memiliki peran sebagai seorang Kakak atau adik kemudian beranjak menambah perannya sebagai seorang suami/istri dan begitu seterusnya masih akan ada tambahan peran-peran yang akan menggelayut pada pundak kita selama ajal belum menjemput diri, namun satu yang harus kita sadari bahwa tidak berarti dengan adanya peran baru maka peran kita yang dahulu hilang, peran kita yang dahulu tetap harus kita jalankan, karena masing-masing peran ada pertanggungjawabannya. Masing-masing peran tadi sudah pasti memiliki keunikan tersendiri, peran sebagai seorang anak yang merangkap sebagai seorang kakak biasanya membuat orang tersebut menjadi lebih cepat dewasa, walaupun berkaitan dengan kedewasaan diri juga tak lepas dari faktor lingkungan dan pergaulan, namun sepanjang yang saya amati begitulah adanya. Bagi seorang yang memiliki peran sebagai seorang anak dan kakak sekaligus biasanya mendapat amanah dari orang tuanya untuk menjaga adik-adiknya, hal inilah yang mungkin menjadi salah satu faktor yang membuatnya lebih cepat dewasa. Lain lagi dengan seorang yang memiliki peran sebagai seorang anak yang merangkap sebagai adik, biasanya cenderung lebih manja, walaupun lagi-lagi hal ini tidak dapat di generalisir. Hal ini dapat disebabkan karena sebagai seorang anak dan adik biasanya mendapat perhatian yang lebih dari orang tuanya dibanding dengan kakak-kakanya, dan selain itu dia juga merasa ada kakaknya yang dapat melindungi dan membelanya, dan sekali lagi hal ini pun tidak dapat dijadikan justifikasi. Seiring berjalannya sang waktu, seseorang akan bertambah perannya, yang tadinya hanya seorang anak dan kakak/adik bertambah menjadi suami/istri. Tambahan peran ini pun memiliki keunikannya sendiri, dalam peran sebagai suami/istri masing-masing harus memiliki rasa untuk saling memahami dan menerima dengan rela kondisi pasangannya, hal ini sangat diperlukan karena ketika seorang sudah menambah perannya sebagai suami/istri yang ada bukan lagi "aku" atau "kamu" namun "kita" selain itu dari sinilah bunga-bunga cinta mereka akan terus bermekaran dan tak layu dimakan zaman. Tak berhenti sampai disitu, akan ada lagi peran yang kemudian harus kita jalani yaitu peran sebagai orang tua, peran ini pun memiliki keunikannya tersendiri, begitu seterusnya, peran-peran pribadi kita akan terus bertambah, belum lagi dengan peran-peran sosial kita, hal ini pun akan menjadi keniscayaan bagi kita semua.

Berbicara peran sosial kita maka hal ini tak lepas dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita sebagai makhluk sosial. Ada diantara kita dalam berkehidupan sosial berperan sebagai pemimpin, entah itu memimpin suatu organisasi, perusahaan, atau masyarakat, entah itu peran sebagai Ketua organisasi, Ketua RT, RW, Lurah, Camat, Direktur, Menteri, bahkan Presiden sekalipun. Itu dalam hal kepemimpinan, lain lagi dalam hal karir, ada yang berperan sebagai public figur, PNS, Guru, pengusaha, karyawan swasta, dan lain sebagainya. Selain itu dalam peran sosial yang lain ada peran sebagai Ulama, Ustadz, Kyai atau apapun itu namanya, yang mempunyai tugas untuk membimbing ummat dan sebagai tempat bertanya. Sebagaimana peran pribadi, peran sosial ini juga memiliki keunikannya masing-masing dan tiap-tiap peran itu juga ada pertanggungjawabannya.

Terkait dengan peran sosial ini saya tertarik (lebih tepatnya terinspirasi) dari cuplikan dialog dalam film Sang Pencerah yang disampaikan pada awal tulisan ini "Yang terpenting bukanlah siapa kita, namun bagaimana kita bagi ummat ini, bagi bangsa ini...", bagi saya kutipan ini begitu dalam maknanya, kutipan tersebut dapat dimaknai bahwa janganlah mementingkan akan menjadi siapa kita bagi ummat dan bangsa ini, namun lebih penting lagi bagaimana diri kita bagi ummat dan bangsa ini, apakah sudah ada kontribusi nyata yang kita berikan kepada ummat dan bangsa ini? Sudahkah ada manfaat yang kita bagi untuk ummat dan bangsa ini? Sebagaimana dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa "Sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain". Apapun peran sosial kita dan sekecil apapun pastikan bahwa ada kemanfaatan yang telah kita berikan kepada orang lain, kepada ummat ini, dan lebih besar lagi untuk kemajuan bangsa ini.

Dalam menghadapi beberapa permasalahan yang menerpa bangsa dan ummat ini, kesadaran inilah yang perlu ada dalam diri masing-masing elemen bangsa ini. Jangan lagi berpikiran bahwa permasalahan pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah atau permasalahan kemiskinan adalah tanggung jawab pemerintah, memang benar itu menjadi tanggung jawab pemerintah tapi apakah ketika pemerintah masih (katakanlah) belum dapat sepenuhnya mengatasi permasalahan tersebut, kita hanya diam bahkan menghujat tanpa bergerak untuk sedikit mengambil peran dalam menuntaskan permasalahan tersebut? Bukankah permasalahan tersebut adalah permasalahan yang melanda bangsa ini? Saudara-saudara kita sendiri? Marilah kita bersama bergerak dalam kebaikan dan perbaikan bangsa dan ummat ini, dengungkan setiap kali membuka mata di pagi hari setelah memuji-Nya, pertanyaan-pertanyaan ini pada diri "Bagaimana diri ini bagi ummat dan bangsa? Sudahkah ada kemanfaatan dan kontribusi dari diri ini? Apakah kemanfaatan dan kontribusi yang akan kubagi hari ini?"

Dengan orang mengingat bagaimana diri kita, kemanfaatan dan kontribusi positif yang telah kita lakukan, maka secara otomatis orang akan mengenang siapa kita, namun jika orang hanya mengingat siapa kita, belum tentu mereka akan mengingat apa-apa kemanfaatan dan kontribusi yang telah kita lakukan.

Lagi-lagi dari film Sang Pencerah tulisan ini mendapatkan inspirasinya, dari kisah dalam film tersebut kita dapat melihat bagaimana KH. Ahmad Dahlan mengambil peran yang belum dapat ditunaikan pihak Keraton Yogyakarta dalam hal pendidikan dan kemiskinan, KH. Ahmad Dahlan kemudian mengambil peran yang belum dapat tertunaikan itu dan dengan semangat kandungan Surat Al-Maa'uun, beliau bersama murid-muridnya mendirikan Sekolah untuk anak-anak pribumi yang kala itu tak dapat kesempatan untuk menyelami samudera ilmu di bangku sekolah dan juga menyantuni fakir miskin di kala itu. Begitulah terkadang dalam beberapa situasi dan kondisi ada kalanya kita harus mengambil peran-peran yang terbengkalai, karena jika bukan kita sebagai anak bangsa yang menginginkan perbaikan dan penyelesaian permasalahan yang melanda bangsa ini maka siapa lagi, siapa lagi yang akan mengambil peran-peran itu? Akankah kita biarkan peran itu tetap terbengkalai padahal bangsa ini butuh seseorang yang mengambil peran-peran tersebut, walau mungkin hanya sekedar sedikit kontribusi kita dalam memainkan peran itu? Karena terkadang, kemanfaatan dan kontribusi yang kita anggap sedikit bisa berarti banyak dan memberikan perubahan yang besar bagi orang lain.

Diakhir tulisan ini, penulis mengajak diri penulis sendiri dan kita semua untuk terus memaksimalkan peran-peran yang kita emban apapun itu untuk dapat memberikan kemanfaatan dan kontribusi bagi orang lain serta bagi kemajuan bangsa dan ummat ini. Selain itu marilah kita bersama senantiasa untuk melakukan perbaikan diri dan persiapan diri untuk memikul peran-peran yang cepat atau lambat akan menggelayut di pundak kita. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan, sangat menyenangkan jika ada yang berkenan menambahi, melengkapi atau bahkan mengkritik tulisan ini, sebagai koreksi dan tambahan pengetahuan penulis.

www.mamasfaiz.blogspot.com

Jumat, 27 Agustus 2010

Bulan Ramadhan : Stasiun Besar Musafir Iman

oleh K.H. Rahmat 'Abdullah (alm)

Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH ciptakan untuknya, mencari dataran rendah, menjadi semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin pun berhembus. Edaran yang pasti pada keluarga galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan penanggalan. Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun – dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH – menerobos kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat tarikan gravitasi ‘bumi jasad’ memberatkan penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala. Kini – di bulan ini – ia jadi begitu ringan, menjelajah ‘langit ruhani’. Carilah bulan – diluar Ramadlan – saat orang dapat mengkhatamkan tilawah satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan. Carilah momentum saat orang berdiri lama di malam hari menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya melepaskan ‘ular harta’ yang membelitnya. Inilah momen yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.

Marhaban ya Syahra Ramadlan
Marhaban Syahra’ Shiyami
Marhaban ya Syahra Ramadlan
Marhaban Syahra’l Qiyami

Keqariban di Tengah Keghariban
Ahli zaman kini mungkin leluasa menertawakan muslim badui yang bersahaja, saat ia bertanya: "Ya Rasul ALLAH, dekatkah Tuhan kita, sehingga saya cukup berbisik saja atau jauhkah Ia sehingga saya harus berseru kepada-Nya?" Sebagian kita telah begitu ‘canggih’ memperkatakan Tuhan. Yang lain merasa bebas ketika ‘beban-beban orang bertuhan’ telah mereka persetankan. Bagaimana rupa hati yang Ia tiada bertahta disana? Betapa miskinnya anak-anak zaman, saat mereka saling benci dan bantai. Betapa sengsaranya mereka saat menikmati kebebasan semu; makan, minum, seks, riba, suap, syahwat, dan seterusnya. padahal mereka masih berpijak di bumi-Nya.

Betapa menyedihkan, kader yang grogi menghadapi kehidupan dan persoalan, padahal Ia yang memberinya titah untuk menuturkan pesan suci-Nya. Betapa bodohnya masinis yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah kawasan rawan, mesin kereta yang luar biasa tangguh dan rambu-rambu yang sempurna, lalu masih membawa keluar lokonya dari rel, untuk kemudian menangis-nangis lagi di stasiun berikut, meratapi kekeliruannya. Begitulah berulang seterusnya.

Semua ayat dari 183-187 surat Al-Baqarah bicara secara tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat yang tidak menyentuhnya secara tekstual, namun sulit untuk mengeluarkannya dari inti hikmah puasa. "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakanlah): ‘Sesungguhnya Aku ini dekat…" (Qs. 2 :185).

Apa yang terjadi pada manusia dengan dada hampa kekariban ini? Mereka jadi pan-dai tampil dengan wajah tanpa dosa didepan publik, padahal beberapa meni sebelum atau sesudah tampilan ini mereka menjadi drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi menjadi nyamuk yang zuhud. Mereka menjadi lalat yang terjun langsung ke bangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang tak bermalu, atau kera, tukang tiru yang rakus.

Bagaimana mereka menyelesaikan masalah antar mereka? Bakar rumah, tebang po-hon bermil-mil, hancurkan hutan demi kepentingan pribadi dan keluarga, tawuran antar warga atau anggota lembaga tinggi negara, bisniskan hukum, jual bangsa kepada bangsa asing dan rentenir dunia. Berjuta pil pembunuh mengisi kekosongan hati ini. Berapa lagi bayi lahir tanpa status bapak yang syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi keledai tunggangan para politisi bandit?

Berapa banyak lagi ayat-ayat dan pesan dibacakan sementara hati tetap membatu? Berapa banyak kurban berjatuhan sementara sesama saudara saling tidak peduli?

Nuzul Qur-an di Hira, Nuzul di Hati
Ketika pertama kali Alqur-an diturunkan, ia telah menjadi petunjuk untuk seluruh ma-nusia. Ia menjadi petunjuk yang sesungguhnya bagi mereka yang menjalankan perin-tah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Ia benar-benar berguna bagi kaum beriman dan menjadi kerugian bagi kaum yang zalim. Kelak saatnya orang menyalahkan rambu-rambu, padahal tanpa rambu-rambu kehidupan menjadi kacau. Ada juga orang berfikir, malam qadar itu selesai sudah, karena ALLAH menyatakannya dengan Anzalna-hu (kami telah menurunkannya), tanpa melihat tajam-tajam pada kata tanazzalu’l Ma-laikatu wa’l Ruhu (pada malam itu turun menurunlah Malaikat dan Ruh), dengan kata kerja permanen. Bila malam adalah malam, saat matahari terbenam, siapa warga negeri yang tak menemukan malam; kafirnya dan mukminnya, fasiqnya dan shalihnya, mu-nafiqnya dan shiddiqnya, Yahudinya dan Nasraninya? Jadi apakah malam itu malam fisika yang meliput semua orang di kawasan?

Jadi ketika Ramadlan di gua Hira itu malamnya disebut malam qadar, saat turun sebuah pedoman hidup yang terbaca dan terjaga, maka betapa bahagianya setiap mukmin yang sadar dengan Nuzulnya Alqur-an di hati pada malam qadarnya masing-masing, saat jiwa menemukan jati dirinya yang selalu merindu dan mencari sang Pencipta. Yang tetap terbelenggu selama hayat dikandung badan, seperti badan pun tak dapat melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada keterbatasan bagi setiap kesenangan. Batas makanan dan minuman yang lezat adalah kterbatasan perut dan segala yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan libido ialah menghilangnya kegembiraan di puncak kesenangan. Batas nikmatnya dunia ialah ketika ajal tiba-tiba menemukan rambu-rambu: Stop!

Alqur-an dulu, baru yang lain
Bacalah Alqur-an, ruh yang menghidupkan, sinari pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan dengan sirah, niscaya Islam itu terasa ni’mat, harmoni, mudah, lapang dan serasi. Alqur-an membentuk frame berfikir. Alqur-an mainstream perjuangan. Nilai-nilainya menjadi tolok ukur keadilan, kewajaran dan kesesuaian dengan karakter, fitrah dan watak manusia. Penguasaan outline-nya menghindarkan pandangan parsial juz-i. Penda’wahannya dengan kelengkapan sunnah yang sederhana, menyentuh dan aksiomatis, akan memudahkan orang memahami Islam, menjauhkan perselisihan dan menghemat energi ummat.

Betapa da’wah Alqur-an dengan madrasah tahsin, tahfiz dan tafhimnya telah membangkitkan kembali semangat keislaman, bahkan di jantung tempat kelahirannya sendiri. Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad di garis depan, jauh sejak awal sejarah ummat ini bermula. Bila Rasulullah meminta orang menurunkan jenazah dimintanya yang paling banyak penguasaan Qur-annya. Bila me-nyusun komposisi pasukan, diletakkannya pasukan yang lebih banyak hafalannya. Bahkan di masa awal sekali, ‘unjuk rasa’ pertama digelar dengan pertanyaan ‘Siapa yang berani membacakan surat Arrahman di Ka’bah?’. Dan Ibnu Mas’ud tampil dengan berani dan tak menyesal atau jera walaupun pingsan dipukuli musyrikin kota Makkah.

Puasa: Da’wah, tarbiah, jihad dan disiplin
Orang yang tertempa makan (sahur) di saat enaknya orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari dalam shalat qiyam Ramadlan setelah siangnya berlapar-haus, atau menahan semua pembatal lahir-batin, sudah sepantasnya mampu mengatasi masalah-masalah da’wah dan kehidupannya, tanpa keluhan, keputusasaan atau kepanikan. Mu-suh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan di te-ngah badai takkan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik siang.

Mereka terbiasa memburu dan menunggu target perjuangan, jauh sampai ke akhirat negeri keabadian, dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya sendiri? "Faqidu’s Syai’ la Yu’thihi" (Yang tak punya apa-apa tak akan mampu memberi apa-apa).

Wahyu pertama turun di bulan Ramadlan, pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib zaman.

Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yg menunggu jawaban serius.