doa pengikat hati

Yaa Alloh, sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati-hati ini telah berkumpul dalam cinta hanya kepada-Mu, bertemu dalam ketaatan kepada-Mu bersatu dalam dakwah-Mu, berjanji setia untuk membela syari'at-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertalian ini, abadikanlah kasih sayang ini, tunjukkanlah jalan kami, dan penuhilah dengan cahya-Mu yang tak pernah padam, lapangkanlah dada ini dengan limpahan iman dan keindahan tawakal kepada-Mu, hidupkanlah dengan ma'rifat-Mu, dan matikanlah dalam syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amien.....

Kamis, 16 September 2010

Sejenak Berbincang Tentang Peran-Peran Kita

"Yang terpenting bukanlah siapa kita, namun bagaimana kita bagi ummat ini, bagi bangsa ini..."-KH. Ahmad Dahlan (Sang Pencerah)-

***

Setiap manusia mempunyai perannya masing-masing dalam menjalani fase kehidupan di dunia ini, dimana antara satu individu dengan individu lainnya bisa jadi pada suatu masa mempunyai peran yang sama, namun di lain waktu bisa jadi mempunyai peran yang berbeda. Dengan berjalannya sang waktu peran masing-masing individu akan terus bertambah, dari awalnya hanya memiliki peran sebagai seorang anak lalu memiliki peran sebagai seorang Kakak atau adik kemudian beranjak menambah perannya sebagai seorang suami/istri dan begitu seterusnya masih akan ada tambahan peran-peran yang akan menggelayut pada pundak kita selama ajal belum menjemput diri, namun satu yang harus kita sadari bahwa tidak berarti dengan adanya peran baru maka peran kita yang dahulu hilang, peran kita yang dahulu tetap harus kita jalankan, karena masing-masing peran ada pertanggungjawabannya. Masing-masing peran tadi sudah pasti memiliki keunikan tersendiri, peran sebagai seorang anak yang merangkap sebagai seorang kakak biasanya membuat orang tersebut menjadi lebih cepat dewasa, walaupun berkaitan dengan kedewasaan diri juga tak lepas dari faktor lingkungan dan pergaulan, namun sepanjang yang saya amati begitulah adanya. Bagi seorang yang memiliki peran sebagai seorang anak dan kakak sekaligus biasanya mendapat amanah dari orang tuanya untuk menjaga adik-adiknya, hal inilah yang mungkin menjadi salah satu faktor yang membuatnya lebih cepat dewasa. Lain lagi dengan seorang yang memiliki peran sebagai seorang anak yang merangkap sebagai adik, biasanya cenderung lebih manja, walaupun lagi-lagi hal ini tidak dapat di generalisir. Hal ini dapat disebabkan karena sebagai seorang anak dan adik biasanya mendapat perhatian yang lebih dari orang tuanya dibanding dengan kakak-kakanya, dan selain itu dia juga merasa ada kakaknya yang dapat melindungi dan membelanya, dan sekali lagi hal ini pun tidak dapat dijadikan justifikasi. Seiring berjalannya sang waktu, seseorang akan bertambah perannya, yang tadinya hanya seorang anak dan kakak/adik bertambah menjadi suami/istri. Tambahan peran ini pun memiliki keunikannya sendiri, dalam peran sebagai suami/istri masing-masing harus memiliki rasa untuk saling memahami dan menerima dengan rela kondisi pasangannya, hal ini sangat diperlukan karena ketika seorang sudah menambah perannya sebagai suami/istri yang ada bukan lagi "aku" atau "kamu" namun "kita" selain itu dari sinilah bunga-bunga cinta mereka akan terus bermekaran dan tak layu dimakan zaman. Tak berhenti sampai disitu, akan ada lagi peran yang kemudian harus kita jalani yaitu peran sebagai orang tua, peran ini pun memiliki keunikannya tersendiri, begitu seterusnya, peran-peran pribadi kita akan terus bertambah, belum lagi dengan peran-peran sosial kita, hal ini pun akan menjadi keniscayaan bagi kita semua.

Berbicara peran sosial kita maka hal ini tak lepas dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita sebagai makhluk sosial. Ada diantara kita dalam berkehidupan sosial berperan sebagai pemimpin, entah itu memimpin suatu organisasi, perusahaan, atau masyarakat, entah itu peran sebagai Ketua organisasi, Ketua RT, RW, Lurah, Camat, Direktur, Menteri, bahkan Presiden sekalipun. Itu dalam hal kepemimpinan, lain lagi dalam hal karir, ada yang berperan sebagai public figur, PNS, Guru, pengusaha, karyawan swasta, dan lain sebagainya. Selain itu dalam peran sosial yang lain ada peran sebagai Ulama, Ustadz, Kyai atau apapun itu namanya, yang mempunyai tugas untuk membimbing ummat dan sebagai tempat bertanya. Sebagaimana peran pribadi, peran sosial ini juga memiliki keunikannya masing-masing dan tiap-tiap peran itu juga ada pertanggungjawabannya.

Terkait dengan peran sosial ini saya tertarik (lebih tepatnya terinspirasi) dari cuplikan dialog dalam film Sang Pencerah yang disampaikan pada awal tulisan ini "Yang terpenting bukanlah siapa kita, namun bagaimana kita bagi ummat ini, bagi bangsa ini...", bagi saya kutipan ini begitu dalam maknanya, kutipan tersebut dapat dimaknai bahwa janganlah mementingkan akan menjadi siapa kita bagi ummat dan bangsa ini, namun lebih penting lagi bagaimana diri kita bagi ummat dan bangsa ini, apakah sudah ada kontribusi nyata yang kita berikan kepada ummat dan bangsa ini? Sudahkah ada manfaat yang kita bagi untuk ummat dan bangsa ini? Sebagaimana dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa "Sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain". Apapun peran sosial kita dan sekecil apapun pastikan bahwa ada kemanfaatan yang telah kita berikan kepada orang lain, kepada ummat ini, dan lebih besar lagi untuk kemajuan bangsa ini.

Dalam menghadapi beberapa permasalahan yang menerpa bangsa dan ummat ini, kesadaran inilah yang perlu ada dalam diri masing-masing elemen bangsa ini. Jangan lagi berpikiran bahwa permasalahan pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah atau permasalahan kemiskinan adalah tanggung jawab pemerintah, memang benar itu menjadi tanggung jawab pemerintah tapi apakah ketika pemerintah masih (katakanlah) belum dapat sepenuhnya mengatasi permasalahan tersebut, kita hanya diam bahkan menghujat tanpa bergerak untuk sedikit mengambil peran dalam menuntaskan permasalahan tersebut? Bukankah permasalahan tersebut adalah permasalahan yang melanda bangsa ini? Saudara-saudara kita sendiri? Marilah kita bersama bergerak dalam kebaikan dan perbaikan bangsa dan ummat ini, dengungkan setiap kali membuka mata di pagi hari setelah memuji-Nya, pertanyaan-pertanyaan ini pada diri "Bagaimana diri ini bagi ummat dan bangsa? Sudahkah ada kemanfaatan dan kontribusi dari diri ini? Apakah kemanfaatan dan kontribusi yang akan kubagi hari ini?"

Dengan orang mengingat bagaimana diri kita, kemanfaatan dan kontribusi positif yang telah kita lakukan, maka secara otomatis orang akan mengenang siapa kita, namun jika orang hanya mengingat siapa kita, belum tentu mereka akan mengingat apa-apa kemanfaatan dan kontribusi yang telah kita lakukan.

Lagi-lagi dari film Sang Pencerah tulisan ini mendapatkan inspirasinya, dari kisah dalam film tersebut kita dapat melihat bagaimana KH. Ahmad Dahlan mengambil peran yang belum dapat ditunaikan pihak Keraton Yogyakarta dalam hal pendidikan dan kemiskinan, KH. Ahmad Dahlan kemudian mengambil peran yang belum dapat tertunaikan itu dan dengan semangat kandungan Surat Al-Maa'uun, beliau bersama murid-muridnya mendirikan Sekolah untuk anak-anak pribumi yang kala itu tak dapat kesempatan untuk menyelami samudera ilmu di bangku sekolah dan juga menyantuni fakir miskin di kala itu. Begitulah terkadang dalam beberapa situasi dan kondisi ada kalanya kita harus mengambil peran-peran yang terbengkalai, karena jika bukan kita sebagai anak bangsa yang menginginkan perbaikan dan penyelesaian permasalahan yang melanda bangsa ini maka siapa lagi, siapa lagi yang akan mengambil peran-peran itu? Akankah kita biarkan peran itu tetap terbengkalai padahal bangsa ini butuh seseorang yang mengambil peran-peran tersebut, walau mungkin hanya sekedar sedikit kontribusi kita dalam memainkan peran itu? Karena terkadang, kemanfaatan dan kontribusi yang kita anggap sedikit bisa berarti banyak dan memberikan perubahan yang besar bagi orang lain.

Diakhir tulisan ini, penulis mengajak diri penulis sendiri dan kita semua untuk terus memaksimalkan peran-peran yang kita emban apapun itu untuk dapat memberikan kemanfaatan dan kontribusi bagi orang lain serta bagi kemajuan bangsa dan ummat ini. Selain itu marilah kita bersama senantiasa untuk melakukan perbaikan diri dan persiapan diri untuk memikul peran-peran yang cepat atau lambat akan menggelayut di pundak kita. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan, sangat menyenangkan jika ada yang berkenan menambahi, melengkapi atau bahkan mengkritik tulisan ini, sebagai koreksi dan tambahan pengetahuan penulis.

www.mamasfaiz.blogspot.com

Jumat, 27 Agustus 2010

Bulan Ramadhan : Stasiun Besar Musafir Iman

oleh K.H. Rahmat 'Abdullah (alm)

Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH ciptakan untuknya, mencari dataran rendah, menjadi semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin pun berhembus. Edaran yang pasti pada keluarga galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan penanggalan. Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun – dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH – menerobos kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat tarikan gravitasi ‘bumi jasad’ memberatkan penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala. Kini – di bulan ini – ia jadi begitu ringan, menjelajah ‘langit ruhani’. Carilah bulan – diluar Ramadlan – saat orang dapat mengkhatamkan tilawah satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan. Carilah momentum saat orang berdiri lama di malam hari menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya melepaskan ‘ular harta’ yang membelitnya. Inilah momen yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.

Marhaban ya Syahra Ramadlan
Marhaban Syahra’ Shiyami
Marhaban ya Syahra Ramadlan
Marhaban Syahra’l Qiyami

Keqariban di Tengah Keghariban
Ahli zaman kini mungkin leluasa menertawakan muslim badui yang bersahaja, saat ia bertanya: "Ya Rasul ALLAH, dekatkah Tuhan kita, sehingga saya cukup berbisik saja atau jauhkah Ia sehingga saya harus berseru kepada-Nya?" Sebagian kita telah begitu ‘canggih’ memperkatakan Tuhan. Yang lain merasa bebas ketika ‘beban-beban orang bertuhan’ telah mereka persetankan. Bagaimana rupa hati yang Ia tiada bertahta disana? Betapa miskinnya anak-anak zaman, saat mereka saling benci dan bantai. Betapa sengsaranya mereka saat menikmati kebebasan semu; makan, minum, seks, riba, suap, syahwat, dan seterusnya. padahal mereka masih berpijak di bumi-Nya.

Betapa menyedihkan, kader yang grogi menghadapi kehidupan dan persoalan, padahal Ia yang memberinya titah untuk menuturkan pesan suci-Nya. Betapa bodohnya masinis yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah kawasan rawan, mesin kereta yang luar biasa tangguh dan rambu-rambu yang sempurna, lalu masih membawa keluar lokonya dari rel, untuk kemudian menangis-nangis lagi di stasiun berikut, meratapi kekeliruannya. Begitulah berulang seterusnya.

Semua ayat dari 183-187 surat Al-Baqarah bicara secara tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat yang tidak menyentuhnya secara tekstual, namun sulit untuk mengeluarkannya dari inti hikmah puasa. "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakanlah): ‘Sesungguhnya Aku ini dekat…" (Qs. 2 :185).

Apa yang terjadi pada manusia dengan dada hampa kekariban ini? Mereka jadi pan-dai tampil dengan wajah tanpa dosa didepan publik, padahal beberapa meni sebelum atau sesudah tampilan ini mereka menjadi drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi menjadi nyamuk yang zuhud. Mereka menjadi lalat yang terjun langsung ke bangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang tak bermalu, atau kera, tukang tiru yang rakus.

Bagaimana mereka menyelesaikan masalah antar mereka? Bakar rumah, tebang po-hon bermil-mil, hancurkan hutan demi kepentingan pribadi dan keluarga, tawuran antar warga atau anggota lembaga tinggi negara, bisniskan hukum, jual bangsa kepada bangsa asing dan rentenir dunia. Berjuta pil pembunuh mengisi kekosongan hati ini. Berapa lagi bayi lahir tanpa status bapak yang syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi keledai tunggangan para politisi bandit?

Berapa banyak lagi ayat-ayat dan pesan dibacakan sementara hati tetap membatu? Berapa banyak kurban berjatuhan sementara sesama saudara saling tidak peduli?

Nuzul Qur-an di Hira, Nuzul di Hati
Ketika pertama kali Alqur-an diturunkan, ia telah menjadi petunjuk untuk seluruh ma-nusia. Ia menjadi petunjuk yang sesungguhnya bagi mereka yang menjalankan perin-tah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Ia benar-benar berguna bagi kaum beriman dan menjadi kerugian bagi kaum yang zalim. Kelak saatnya orang menyalahkan rambu-rambu, padahal tanpa rambu-rambu kehidupan menjadi kacau. Ada juga orang berfikir, malam qadar itu selesai sudah, karena ALLAH menyatakannya dengan Anzalna-hu (kami telah menurunkannya), tanpa melihat tajam-tajam pada kata tanazzalu’l Ma-laikatu wa’l Ruhu (pada malam itu turun menurunlah Malaikat dan Ruh), dengan kata kerja permanen. Bila malam adalah malam, saat matahari terbenam, siapa warga negeri yang tak menemukan malam; kafirnya dan mukminnya, fasiqnya dan shalihnya, mu-nafiqnya dan shiddiqnya, Yahudinya dan Nasraninya? Jadi apakah malam itu malam fisika yang meliput semua orang di kawasan?

Jadi ketika Ramadlan di gua Hira itu malamnya disebut malam qadar, saat turun sebuah pedoman hidup yang terbaca dan terjaga, maka betapa bahagianya setiap mukmin yang sadar dengan Nuzulnya Alqur-an di hati pada malam qadarnya masing-masing, saat jiwa menemukan jati dirinya yang selalu merindu dan mencari sang Pencipta. Yang tetap terbelenggu selama hayat dikandung badan, seperti badan pun tak dapat melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada keterbatasan bagi setiap kesenangan. Batas makanan dan minuman yang lezat adalah kterbatasan perut dan segala yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan libido ialah menghilangnya kegembiraan di puncak kesenangan. Batas nikmatnya dunia ialah ketika ajal tiba-tiba menemukan rambu-rambu: Stop!

Alqur-an dulu, baru yang lain
Bacalah Alqur-an, ruh yang menghidupkan, sinari pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan dengan sirah, niscaya Islam itu terasa ni’mat, harmoni, mudah, lapang dan serasi. Alqur-an membentuk frame berfikir. Alqur-an mainstream perjuangan. Nilai-nilainya menjadi tolok ukur keadilan, kewajaran dan kesesuaian dengan karakter, fitrah dan watak manusia. Penguasaan outline-nya menghindarkan pandangan parsial juz-i. Penda’wahannya dengan kelengkapan sunnah yang sederhana, menyentuh dan aksiomatis, akan memudahkan orang memahami Islam, menjauhkan perselisihan dan menghemat energi ummat.

Betapa da’wah Alqur-an dengan madrasah tahsin, tahfiz dan tafhimnya telah membangkitkan kembali semangat keislaman, bahkan di jantung tempat kelahirannya sendiri. Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad di garis depan, jauh sejak awal sejarah ummat ini bermula. Bila Rasulullah meminta orang menurunkan jenazah dimintanya yang paling banyak penguasaan Qur-annya. Bila me-nyusun komposisi pasukan, diletakkannya pasukan yang lebih banyak hafalannya. Bahkan di masa awal sekali, ‘unjuk rasa’ pertama digelar dengan pertanyaan ‘Siapa yang berani membacakan surat Arrahman di Ka’bah?’. Dan Ibnu Mas’ud tampil dengan berani dan tak menyesal atau jera walaupun pingsan dipukuli musyrikin kota Makkah.

Puasa: Da’wah, tarbiah, jihad dan disiplin
Orang yang tertempa makan (sahur) di saat enaknya orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari dalam shalat qiyam Ramadlan setelah siangnya berlapar-haus, atau menahan semua pembatal lahir-batin, sudah sepantasnya mampu mengatasi masalah-masalah da’wah dan kehidupannya, tanpa keluhan, keputusasaan atau kepanikan. Mu-suh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan di te-ngah badai takkan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik siang.

Mereka terbiasa memburu dan menunggu target perjuangan, jauh sampai ke akhirat negeri keabadian, dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya sendiri? "Faqidu’s Syai’ la Yu’thihi" (Yang tak punya apa-apa tak akan mampu memberi apa-apa).

Wahyu pertama turun di bulan Ramadlan, pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib zaman.

Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yg menunggu jawaban serius.

Jumat, 24 Juli 2009

Masjid dan Shalat Berjamaah dalam kehidupan seorang muslim

Penerjemah:

Abu Ahmad

________

Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah saw, beserta keluarga dan para sahabatnya dan orang-orang yang mendukungnya…

Shalat berjamaah dalam suatu masjid merupakan tanda adanya hidayah dan perbaikan

Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللَّهَ فَعَسَى أُوْلَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنْ الْمُهْتَدِينَ

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, emnunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. (At-Taubah:18)

Dan diriwayatkan oleh imam Muslim dari Abdullah bin Mas’ud berkata:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ، فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صلى الله عليه وسلم سُنَنَ الْهُدَى، وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى، وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ، وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ، وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً، وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً، وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً، وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ

“Barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah pada hari esok (hari kiamat) sebagai muslim, maka hendaknya menjaga beberapa kewajiban shalat yang selalu diserukan kepadanya, karena sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada nabi-Nya beberapa sunah yang membawa pada petunjuk, dan beberapa hal tersebut juga merupakan bagian dari sunah yang membawa petunjuk, sekiranya kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana orang yang berbeda pendapat lalu shalat di rumahnya maka kalian akan meninggalkan sunah nabi kalian, dan sekiranya kalian meninggalkan sunah nabi, maka kalian akan tersesat, dan tidaklah seseorang yang berwudhu (bersuci) lalu baik wudhunya, kemudian bersengaja menuju ke masjid dari masjid-masjid Allah kecuali akan dituliskan kepadanya oleh Allah dari setiap langkah yang dilakukannya satu kebaikan, dan diangkatnya satu derajat serta dihapus darinya dengannya satu keburukan, dan kami telah melihat bahwa tidaklah berbeda pendapat darinya kecuali sebagai orang munafik yang tampak kemunafikannya, dan adalah seseorang akan diberikan dengan hidayah di antara dua orang sampai di tegakkan nya shaf (barisan) shalat”.

Sampai pada batas inilah para sahabat memandang bahwa jamaah di masjid merupakan pembeda antara orang beriman dan munafik, bahkan katika ada yang sakit dari mereka berusaha dibopong ke masjid karena tidak mampu berjalan menuju masjid untuk ikut shalat berjamaah!

Adapun dalil-dalil keutamaan shalat jamaah di masjid sangatlah banyak yang tidak asing lagi bagi Ikhwanul Muslimin, bahkan kedudukan salah seorang sahabat dari mereka tidak jauh dari komitmennya kepada masjid.

Pernah ditanyakan kepada nabi saw: sekiranya saya membeli keledai yang dapat Anda kendarai pada waktu malam dan pada waktu terik matahari! Beliau berkata: tidak ada yang memberikan kebahagiaan kepadaku bahwa kedudukan saya ada ketika berada di samping masjid, saya berharap dituliskan untukku pada setiap langkah menuju masjid, dan pulangnya lalu aku bertemu dengan keluargaku. Maka Rasulullah saw bersabda: “Sungguh Allah telah memberikan kepadamu semua itu”.

Jamuan ruhiyah

Bahwa orang yang berjalan menuju masjid untuk shalat, maka ketika pulang dan perginya merupakan tamu Allah dan jamuan Allah, dan Allah akan memberikan kemuliaan dengannya dari jamuan yang dapat memenuhi hatinya berupa ketenangan dan ketenteraman, memenuhi ruh dan jiwanya akan keridhaan dan kebahagiaan, serta memberikan dada yang lapang dan penuh keceriaan. Rasulullah saw juga bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ وَرَاحَ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُ نُزُلَهُ مِنَ الْجَنَّةِ كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ

“Barangsiap yang pergi ke masjid dan pulang darinya, maka Allah akan mempersiapkan untuknya kedudukan yang tinggi di surga setiap kali dirinya pergi dan pulang”. (Muttafaq alaih).

Dan Rasulullah saw menyebutnya dengan al-kafarat (penghapus dosa), beliau bersabda:

الْكَفَّارَاتُ: الْمُكْثُ فِي الْمَسَاجِدِ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ، وَالْمَشْيُ عَلَى الأَقْدَامِ إِلَى الْجَمَاعَاتِ، وَإِسْبَاغُ الْوُضُوءِ فِي الْمَكَارِهِ، وَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَاشَ بِخَيْرٍ وَمَاتَ بِخَيْرٍ، وَكَانَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Al-kaffarat adalah berdiam di masjid setelah shalat, dan berjalan dengan kaki untuk shalat berjamaah, sempurna dalam berwudhu, dan barangsiapa yang melakukan itu maka akan mendapatkan kehidupan yang baik dan meninggal dalam keadaan baik, dan gugur segala kesalahannya seakan baru dilahirkan dari rahim ibunya”. (Tirmidzi)

Allah sangat senang kepada hamba-Nya yang terbiasa ke masjid dan berjamaah

Nabi saw bersabda:

مَا تَوَطَّنَ رَجُلٌ مُسْلِمٌ الْمَسَاجِدَ لِلصَّلاَةِ وَالذِّكْرِ إِلاَّ تَبَشْبَشَ اللَّهُ لَهُ كَمَا يَتَبَشْبَشُ أَهْلُ الْغَائِبِ بِغَائِبِهِمْ إِذَا قَدِمَ عَلَيْهِم

“Tidaklah seorang muslim pergi ke masjid untuk shalat dan berdzikir kecuali Allah SWT sangat senang dan bergembira kepadanya sebagaimana senang dan gembiranya orang yang lama tidak bertemu dengan saudaranya kemudian berjumpa pada suatu hari”. (Ibnu Majah)

Hati-hatilah dari tidak shalat berjamaah di masjid dan menjauh dari masjid!!

Karena itu di antara taujihat Ikhwan adalah memelihara shalat jamaah, memakmurkan masjid dengan berdzikir dan shalat, tidak mencari-cari rukhsah untuk meninggalkan jamaah di masjid kecuali karena udzur yang sangat terpaksa.

فقد اشتكى ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ الأعمى لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم كِبَر سنه وعمى بصره وفقد القائد الملازم، فقَالَ صلى الله عليه وسلم: “هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ”؟ قال: نَعَمْ. قَالَ: “مَا أَجِدُ لَكَ رُخْصَةً

“Suatu ketika Ibnu Ummi Maktum yang buta menghadap dan mengadu kepada Nabi saw karena usianya yang sudah lanjut dan matanya buta serta tidak ada yang menuntunnya. Maka nabi saw berkata kepadanya: “Apakah kamu mendengar suara azan? Beliau berkata: Ya, nabi bersabda: Saya tidak menemukan dari rukhsah (keringanan) sedikitpun”. (Ibnu Majah)

Karena itulah wahai akh muslim hendaklah kalian keluar menuju masjid untuk ikut shalat berjamaah, bagaimanapun kondisinya, sekalipun menurut perasaan Anda tidak mendapatkan jamaah pertama; karena nabi saw bersabda:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا أَعْطَاهُ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلاَّهَا وَحَضَرَهَا، لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَجْرِهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa yang berwudhu, lalu sempurna wudhu, kemudian pergi menuju masjid dan mendapati jamaah telah selesai shalat jamaahnya, maka Allah akan memberikan kepadanya seperti ganjaran orang shalat dan hadir pertama kali, tidak dikurangi sedikit pun ganjaran dari ganjaran mereka”. (Abu Daud)

Masjid dan shalat berjamaah adalah inti kesuksesan dakwah

Bahwa dakwah kami wahai Ikhwan adalah dakwah Islam yang bertolak dari masjid; melekat hati-hati ini kepada masjid dan begitu cinta kepadanya karena Allah, dan apa yang diwasiatkan oleh imam Syahid Hasan Al-Banna kepada Ikhwan pada setiap bagian atau tempat untuk terus menumbuhkan hubungan kepadanya; yaitu berupa semangat untuk shalat fajar secara berjamaah satu kali dalam setiap pekan paling sedikit bersama-sama di dalam satu masjid.

Sebagaimana shalat secara berjamaah yang kita tunaikan pada setiap hari lima kali merupakan latihan harian pada sistem jamaah secara nyata dan kongkret, menyatu di dalamnya berbagai bentuk kebaikan yang beragam; karena dengannya akan terwujud makna persamaan, menghilangkan perbedaan kulit, tingkatan dan ras, mewujudkan persatuan dan aturan pada suatu keinginan dan fenomena yang sama, membiasakan orang beriman untuk meluruskan yang salah dan keliru, sekalipun dia adalah imam (pemimpin), dan juga membiasakan sang imam (pemimpin) yang salah dan keliru untuk memperbaiki kesalahannya dan kekeliruannya dan menerima yang benar, siapapun yang menunjukkannya kesalahan tersebut kepadanya, karena itu apakah ada yang tersisa dari sistem yang beragam ini akan kelebihan dan keutamaan Islam, padahal telah disatukan berbagai kebaikan dan diberikan perlindungan di dalamnya dari berbagai keburukan dan kejahatan serta kesalahan.

Kemudian dalam memelihara shalat berjamaah akan menumbuhkan di hati orang beriman sifat positif, dan menghilangkan sifat negatif dan tidak peduli, mendorong untuk mewujudkan Islam secara nyata dan kongkret, bekerja untuknya dan mengarahkan hidup di dunia pada jalan kebaikan yang dibawa olehnya. Ustadz Al-Banna berkata: “Dari sinilah wahai Ikhwan, kami melihat para kekasih masjid, pecinta ibadah, penghafal Al-Qur’an, dan bahkan para generasi muda yang terikat dari para salafus shalih semoga Allah merahmati mereka semua; tidak pernah puas dengan kemerdekaan negeri mereka, dan tidak pernah bangga dengan kemuliaan kaumnya, dan kebebasan bangsa mereka, namun mereka selalu menyebar ke pelosok bumi, yang dengannya mereka mendapatkan petunjuk, mengajak untuk menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat, tidak berlebih-lebihan dan bermalas-malasan, tidak melakukan kezhaliman dan permusuhan, dan memperbudak manusia karena mereka terlahir dalam keadaan merdeka”.

Karena itu marilah ke masjid wahai Ikhwan yang tercinta, makmurkanlah dengan shalat berjamaah, shalat wajib, dzikir dan membaca Al-Qur’an, berbaurlah dengan orang-orang shalih dan mulia di tengah masyarakat kalian, jadikanlah ini sebagai titik tolak dalam berdakwah, memberikan arahan dan petunjuk bagi dunia secara keseluruhan, kembalilah kepadanya dari setiap seruan untuk shalat sehingga kalian dapat membersihkan jiwa-jiwa kalian, memulai dalam gerak dan aktivitas kalian, niscaya Allah akan selalu bersama kalian dan tidak menyia-nyiakan amal ibadah kalian.

Sampai berjumpa lagi pada pembicaraan yang lain bersama (suara dari dalam hati)..

Saya titipkan kepada Allah agama, amanah dan akhir dari perbuatan kalian.

Allah Maha Besar dan segala puji hanya milik Allah.

Muhammad Mahdi Akif

Senin, 29 Juni 2009

Menikah antara Teori vs Praktek

Judul yang hiperbolis?
tidak juga, disini kita akan bicara sedikit antara teori dan praktek dalam pernikahan. Kok sedikit? ya iyalah, lha yang nulis kan belum menikah, jadi hanya bisa cerita sedikit dari sisi kalangan akademisi (maksudnya kalangan yang bergelut dengan teori-teori), ^_^.
Oke, tulisan ini terinspirasi dari sebuah topik di forum diskusi (Forum Sholahudin), salah seorang member (pak A-HA), beliau menuliskan di topik tersebut seperti ini "Dalam teori vs praktek.... nikah itu sama dengan berenang. Meskipun antum belajar berenang dengan 10 buku tebal, tetapi nggak pernah nyemplung ke air... insya Allah antum tenggelam ketika nyemplung ke air. Sebaliknya... orang desa yg tanpa teori, tetapi nyemplung duluan sambil belajar, maka dia akan bisa berenang.. meskipun akan sulit jadi perenang hebat jika belajar berhenti sampai disitu. Dalam soal nikah, terlalu banyak romansa didalamnya yang hanya bisa dirasakan, tetapi sulit diteorikan. Itulah kenapa Rasulullah sampai menyampaikan bahwa nikah adalah setengah Din"

Yup, tulisan beliau, sepertinya sudah mewakili untuk tulisan ini, tapi ijinkan saya sedikit saja berbicara mengenai hal ini dan mohon koreksi jika ada salah dari saya.

Ilustrasi lain yang mungkin menggambarkan hal tersebut adalah ketika kita duduk di bangku SMA dan belajar Fisika, di dalam kelas kita belajar tentang teori pembiasan cahaya, Ketika dibiaskan, cahaya akan berubah arah. Pembelokan ini terjadi ketika cahaya pindah dari medium satu ke yang lain. Hal ini terjadi karena cahaya bergerak dengan kecepatan berbeda dalam medium berlainan. Ketika memasuki prisma kaca, cahaya akan dibelokkan. Begitu pula jika keluar dari prisma. Selain membiaskan cahaya, prisma memisahkan cahaya putih menjadi komponen warnanya. Warna cahaya yang berlainan ini berbeda frekuensinya, sehingga memiliki kecepatan tempuh berbeda ketika memasuki suatu zat. Cahaya yang kecepatannya rendah di dalam kaca akan dibelokkan lebih tajam ketika pindah dari udara ke kaca, karena perbedaan kecepatannya berlainan. Tak mengherankan jika komponen yang membentuk cahaya putih dipisahkan berdasarkan frekuensinya ketika melewati kaca. Pada prisma, cahaya akan dibelokkan dua kali, ketika masuk dan keluar, sehingga penyebaran cahaya terjadi.
Tetesan air hujan dapat membiaskan dan menyebarkan cahaya mirip sebuah prisma. Dalam kondisi yang tepat, pembiasan cahaya ini membentuk pelangi.

Panjang ya teori bagaimana pelangi itu terbentuk. Itu teori. lalu apakah pelangi itu indah?
saya yakin tidak akan bisa kita katakan pelangi itu indah hanya berbekal teori tersebut, kita akan bisa katakan bahwa Pelangi itu indah ketika kita benar-benar melihatnya. begitu bukan?

Sudah banyak buku yang mengupas hal-hal pernikahan, buku-buku tersebut tidak hanya menyampaikan hal-hal indah dalam pernikahan dan kehidupan rumah tangga tapi juga problematika yang mungkin akan muncul setelah menikah dan memulai kehidupan berumah tangga. Kalau begitu apakah teori dalam pernikahan itu perlu?
Jelas teori itu tetap diperlukan, paling tidak teori-teori dasar tentang pernikahan dan hidup berumah tangga, sehingga ketika memulai kehidupan yang baru kita tidak terlalu kaget dengan hal-hal yang menjadi problem dalam kehidupan berumah tangga. Namun jangan terlalu asyik dalam berteori sehingga lupa untuk mempraktekkan teori yang sudah dipelajari, seperti ilustrasi yang digambarkan diatas. Ketika kita belajar teori tentang berenang maka kita tidak bisa mengatakan bahwa berenang itu mengasyikkan, dan juga kita tidak dapat mengatakan berenang itu menyehatkan hanya dengan membaca teorinya, sebelum kita benar-benar mempraktekkan berenang dan merasakan manfaatnya, begitu halnya dengan teori pembiasan cahaya dalam mata pelajaran Fisika yang saya sebutkan diatas. Oleh karena itu ketika orang sudah mengatakan siap untuk menikah salah satu kesiapannya adalah pengetahuan akan hal-hal dasar (minimal) mengenai pernikahan (teori), selain kesiapan mental akan amanah dan tanggung jawabnya sebagai suami nantinya, dan juga kesiapan dalam hal finansial. Jadi sudah seharusnya antara teori dan praktek berjalan beriringan.

Rabu, 11 Maret 2009

Rehat sejenak....

Kawan, pernahkah engkau merasa begitu semangat pada suatu waktu?
pasti, karena memang kita harus lalui hidup ini dengan penuh semangat,
Dan pernahkah engkau merasa semangat itu lama kelamaan mengendur, dan menyisakan suatu keletihan dan kelelahan?
pernah, sebagaimana iman, yang bisa naik dan turun, begitu pula dengan semangat,

Adakah lalu kita mengutuki keletihan dan kelelahan itu?
tidak kawan, karena memang inilah kita -manusia- makhluk yang lemah...

Adakah lalu kita menyalahkan keletihan dan kelelahan yang menghinggapi diri kita?
Kawan, seorang teman berujar...
Keletihan pun merupakan nikmat dari-Nya,
karena dengan letih itulah istirahat menjadi indah....

Kawan...
Rehatlah sejenak dari rutinitas mu
sesekali rasakanlah harmoni alam ini
rasakan semilir angin, merdunya kicauan burung, dan gemericik air
nikmati canda tawamu bersama keluarga
pejamkan matamu
rasakan kesegaran itu
biarkan ia merasuk dalam dirimu
ucapkanlah takbir, tahmid, dan tahlil akan kebesaran Alloh dari kedalaman hatimu

Rehatlah sejenak kawan,
Karena hatimu pun perlu suatu kesegaran
Dzikir adalah kesegaran bagi hati
sholat 5 waktu pun rehat bagi diri dari kesibukan sehar-hari

Ketika dirimu diliputi kekecewaan
rehatlah sejenak
carilah bahagia tuk gantikan kecewa

Ketika dirimu dihinggapi penyesalan
rehatlah sejenak
temukan keikhlasan tuk mengganti sesal yang ada

Ketika hatimu disusupi oleh kesedihan
rehatlah sejenak
ajaklah ketabahan tuk hilangkan sedih itu

Ketika amarah mulai merasuk dalam dirimu
rehatlah sejenak
temui kesabaran tuk menghilangkannya

Ketika ketidakpuasan menyambangimu
rehatlah sejenak
biarlah kesyukuran berkunjung dan menetap di hatimu

Rehatlah sejenak kawan...

Rehat sejenak pada koma,
bukan titik, karena kita harus melanjutkan cerita kehidupan dan perjuangan ini...

Selasa, 03 Februari 2009

Bangun Cinta atau Jatuh Cinta?

Ada 2 hal ketika kita bertemu Cinta,
Jatuh Cinta dan Bangun Cinta, padamu saudaraku kusarankan memilih yang kedua terlebih dahulu, mengapa?

Bukankah kata orang Jatuh Cinta itu indah?

Bangun cinta?

Belum pernah denger tuh istilah bangun Cinta, mungkin itu yang terlintas di pikiran anda ketika membaca coretan sederhana ini. Kalau begitu mari kita coba kupas sedikit kedua hal tersebut. Dengan suatu logika sederhana, sesuatu yang diawali kata “JATUH” akan terasa sakit, begitu juga dengan jatuh cinta, ketika kita jatuh cinta, namun tidak menemukan muaranya yaitu kebersamaan dengan sang kekasih dalam koridor batasan Syariat yaitu pernikahan yang sah dan barokah, maka hal itu akan menyisakan luka di hati, beda halnya dengan sesuatu yang diawali dengan kata “BANGUN”, ada seberkas energi positif didalamnya. Bangun Cinta merupakan kerja kita untuk menumbuhkan cinta sehingga semakin hari, cinta itu semakin menjulang tinggi ujungnya, namun tetap kuat dan kukuh pondasinya. Salim A Fillah dalam salah satu bukunya menuliskan Jika kita menghijrahkan cinta, dari kata benda menjadi kata kerja,maka tersusunlah sebuah kalimat peradaban dalam paragraf sejarah. Jika kita menghijrahkan cinta,dari jatuh cinta menuju bangun cinta,maka cinta menjadi sebuah istana, tinggi menggapai surga, maka sudah seharusnya kita jadikan cinta itu sebagai kata kerja, karena dengan begitu cinta itu akan membuahkan suatu hasil yang dapat menenangkan dan memuaskan hati kita.


Seorang teman pernah berujar jika kita jatuh cinta dengan orang yg kita nikahi itu adalah kemungkinan, namun jika kita bangun cinta dengan orang yg sudah kita nikahi itu adalah kewajiban.

Lalu apakah salah jika kita jatuh cinta?

Memang tidak salah saudaraku, namun jika jatuh cinta ini tidak menemukan muaranya yang pas, atau harus bermuarakan dalam kubangan lumpur yg menyesakkan bukankah malah menjadi penderitaan?

Lain halnya jika jatuh cinta itu bermuarakan dalam suatu muara yang pas, seperti diungkapkan diatas, yaitu pernikahan yang sah dan barokah, jika kita ibaratkan maka seperti pertemuan samudera yg bersih,dengan hangatnya air laut, maka jatuh cinta itu akan berkembang menjadi sebuah koloni kehidupan yang mendamaikan setidaknya sedap dipandang mata,hati,dan pikiran coba tengoklah sejenak kehidupan muara di pantai, ada rindangnya bakau, ada indahnya kicau burung pantai, ada debur ombak halus, ada angn sepoi, ada pasir halus, dan ada hal-hal lain yang dapat menenangkan jiwa kita.


itulah jatuh cinta yang benar, tergantung bagaimana muaranya dan bagaimana kita mengalirkannya, mengalirkan kalbu ini ke Muara yg terbaik yaitu Pernikahan yang Sah dan Barokah.


Dan bagaimana mengupayakan gemuruh cinta di hati ini dari yang kita awali dengan Bangun Cinta menjadi Jatuh Cinta…

Jatuh Cinta yang tak lagi terbalaskan dengan sakit di hati….

Jatuh Cinta yg hakiki karena Alloh Subhanahu wa ta’ala....

Wallohu a’lam.

Jazakalloh khoiron katsiron kepada akh Pani yang bersedia berdiskusi, afwan ane tulis kembali pemikiran antum disini.

Kamis, 22 Januari 2009

HIJRAH

atas bukti kerelaan
perjalanan ini mesti dituntaskan
walau pedang terhunus menghalangi
walau badai gurun menampar hati

karena sungguh,
atas bukti ketaatan
bahaya jadi tak bermakna
pedih perih jadi tak terasa….

bukan karena takut akan ancaman
perjalanan ini terjadi
namun semata sebagai bukti ketundukan
atas perintah yang mesti dijalankan
karena Alloh – lah pemegang kendali hidup
Alloh – lah sang penguasa hati

hingga madinah menyambut penuh gempita
gelora juang kembali berkobar
dalam hati nabi
dalam hati kaum mu’minin
dalam hati kita….
hijrah tak kan pernah berakhir
selalu ada dalam jiwa…
sebagai kerelaan hati untuk berubah
kapan-pun, di mana-pun